Toggle menu

WELCOME

       
Showing posts with label Sumber Daya Alam. Show all posts
Showing posts with label Sumber Daya Alam. Show all posts

27 April 2012

Danau Tondano

Danau Tondano merupakan salah satu danau terbesar yang terletak di provinsi Selawesi Utara. Danau Tondano letaknya di Kabupaten Minahasa sedangkan DAS Tondano melintasi tiga wilayah administratif yaitu antara lain Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, dan Kota Manado. Letak astronomis Danau Tondano berada pada 1º 06’ 06” – 1º 20’ 25” Lintang Utara dan 124º 45’ 04” – 124º 58’ 20” Bujur Timur. Danau Tondano terletak pada ketinggian 680 dpl dengan luas danau mencapai 4.638 ha dan kedalaman 14 m. Air Danau Tondano (inlet) berasal dari aliran 35 sungai, sedangkan aliran yang keluar (outlet) Danau Tondano hanya satu yaitu Sungai Tondano. Luas daerah tangkapan air Danau Tondano sebesar 54.413 ha yang terdiri dari hutan, kebun, semak, sawah, rawa, pemukiman, badan air dan lahan kosong diantaranya terdapat lahan keritis dengan luas 2.205 ha. Laju alir inlet yang masuk ke Danau Tondano rata-rata berkisar pada 3,2 – 8,0 m3/detik. Kelembapan udara berkisar 84%-93% dengan temperatur udara antara 19oC – 27oC. Curah hujan rata-rata yang terjadi bervariasi antara 1500 mm hingga 2800 mm/tahun.

..read more

Danau Tondano merupakan salah satu danau terbesar yang terletak di provinsi Selawesi Utara. Danau Tondano letaknya di Kabupaten Minahasa sedangkan DAS Tondano melintasi tiga wilayah administratif yaitu antara lain Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, dan Kota Manado. Letak astronomis Danau Tondano berada pada 1º 06’ 06” – 1º 20’ 25” Lintang Utara dan 124º 45’ 04” – 124º 58’ 20” Bujur Timur. Danau Tondano terletak pada ketinggian 680 dpl dengan luas danau mencapai 4.638 ha dan kedalaman 14 m. Air Danau Tondano (inlet) berasal dari aliran 35 sungai, sedangkan aliran yang keluar (outlet) Danau Tondano hanya satu yaitu Sungai Tondano. Luas daerah tangkapan air Danau Tondano sebesar 54.413 ha yang terdiri dari hutan, kebun, semak, sawah, rawa, pemukiman, badan air dan lahan kosong diantaranya terdapat lahan keritis dengan luas 2.205 ha. Laju alir inlet yang masuk ke Danau Tondano rata-rata berkisar pada 3,2 – 8,0 m3/detik. Kelembapan udara berkisar 84%-93% dengan temperatur udara antara 19oC – 27oC. Curah hujan rata-rata yang terjadi bervariasi antara 1500 mm hingga 2800 mm/tahun.

Danau Tondano yang merupakan bagian dari DAS Tondano memiliki fungsi yang beragam, selain sebagai penunjang kehidupan manusia, danau Tondano juga berfungsi sebagai antara lain sember plasma nutfah, habitat flora dan fauna endemik, sumber air baku kehidupan, daerah resapan air, memelihara keseimbangan iklim mikro, sarana transportasi, wisata serta penghasil energi listrik (PLTA). Danau ini merupakan danau penghasil ikan air tawar seperti ikan mujair, pior/kabos, payangka wiko (udang kecil), nike dan lain-lain. Luas danau ini 4.278ha, dan terdapat pulau kecil bernama Likri (depan desa Tandengan kecamatan Eris). Di tepi Danau Tondano terlihat jelas Gunung Kaweng.

Isu Lingkungan

Danau Tondano mengalami permasalahan yang kompleks, yang terdiri dari degradasi daerah tangkapan air, pencemaran, sedimentasi, pendangkalan, eutrofikasi, dan kerusakan kondisi lingkungan sekitar Danau Tondano. Degradasi daerah tangkapan air terjadi karena penebangan liar dan pembukaan lahan di hutan bagian hulu. Peningkatan erosi dan sedimentasi, sehingga terjadi pendangkalan danau dengan tingkat sedimentasi rata-rata sebesar 0,4 m/th. Sedangkan tingkat erosi yang terjadi di bagian hulu berkisar pada 28,86 – 63,00 ton/ha/tahun (UNSRAT, 2000). Pendangkalan danau dalam kurun waktu 66 tahun semakin meningkat, dimana kedalaman semula sedalam 40 meter sampai dengan tahun 2000 kedalamannya hanya sebesar 14 meter. Berikut tersaji data pendangkalan pada Danau Tondano :

Penurunan kualitas air Danau Tondano. Terjadinya peningkatan volume sampah/tumbuhan air maupun limbah domestik yang masuk sebagai inlet dengan volume rata-rata 2-5 truck/hari. Disamping itu penurunan kualitas perairan pun disebabkan oleh tingginya kadar P (fosfat) dan N (nitrogen) akibat dari adanya kegiatan pertanian di sekitar kawasan danau. Selain hal tersebut diatas, penurunan kualitas perairan tersebut juga disebabkan oleh limbah cair dan padat yang berasal dari pemukiman, sarana wisata (hotel dan restoran), pertanian, pakan ikan serta minyak dan oli dari perahu nelayan dan perahu transportasi.

Bencana banjir yang terjadi akibat dari pendangkalan danau dan kegiatan illegal logging pada kawasan DTA (hulu), sehingga ketika hujan datang akan terjadi penggerusan lahan/erosi lahan yang mengalir memasuki Danau Tondano.

Okupasi lahan oleh masyarakat sekitar menjadi lahan pertanian, pemukiman, ladang/perkebunan, serana prasarana pariwisata dan lain sebagainya.

Eutrofikasi perairan Danau Tondano akibat dari pengkayaan unsur hara di perairan danau yaitu peningkatan kadar P dan N. Hal ini ditunjukkan dengan penyebaran enceng gondok pada permukaan air Danau Tondano yang mencapai luas 242,67 ha atau 5,20% dari luas danau.

26 April 2012

Danau Melintang, Semayang dan Jempang

Kawasan Danau Melintang, Semayang dan Jempang yang masing-masing memiliki luas 8.997,1 ha, 11.342,6 ha dan 13.974,8 ha terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Ketiga danau tersebut merupakan suatu ekosistem air tawar yang tergenang dan termasuk perairan paparan banjir (floodplain) yang bertipe eutrofik dengan lantai berlumpur dan berpasir. Kedalaman Danau Semayang 13 m dengan volume danau 390.000.000 m3 . Inlet dan outlet Danau Semayang adalah Sungai Belayan dan Sungai Pela. Secara geografis danau Semayang, Melintang dan jempang masing-masing terletak pada koordinat 0o 13’24,48” S dan 116o 27’17,55” E elevasi 28 kaki, 0o 17’33,82” S dan 116o 19’42,55” E elevasi 83 kaki, serta 0o 26’33,87” S dan 116o 11’41,06” E pada elevasi 85 kaki.

Kawasan Danau Melintang, Semayang dan Jempang yang masing-masing memiliki luas 8.997,1 ha, 11.342,6 ha dan 13.974,8 ha terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Ketiga danau tersebut merupakan suatu ekosistem air tawar yang tergenang dan termasuk perairan paparan banjir (floodplain) yang bertipe eutrofik dengan lantai berlumpur dan berpasir. Kedalaman Danau Semayang 13 m dengan volume danau 390.000.000 m3 . Inlet dan outlet Danau Semayang adalah Sungai Belayan dan Sungai Pela. Secara geografis danau Semayang, Melintang dan jempang masing-masing terletak pada koordinat 0o 13’24,48” S dan 116o 27’17,55” E elevasi 28 kaki, 0o 17’33,82” S dan 116o 19’42,55” E elevasi 83 kaki, serta 0o 26’33,87” S dan 116o 11’41,06” E pada elevasi 85 kaki.

Status baku mutu DAS Mahakam tahun 2007 adalah dalam status sedang dengan indeks pencemaran berkisar antara 4.5 s/d 7.5 nilai rata-rata indeks pencemaran adalah 6,3. Parameter yang tidak memenuhi baku mutu adalah Fecal Coliform, COD, Fosfat, Fenol, Nitrat, pH, DO. Status baku mutu DAS Mahakam tahun 2006 adalah dalam status sedang dengan indeks pencemaran berkisar antara 3,5 s/d 8,6 nilai rata-rata indeks pencemaran adalah 5,3. Pencemaran yang tidak memenuhi baku mutu adalah TSS, Fecal Coliform, Total Coliform COD, BOD.

Sampai saat ini alur sungai Mahakam memegang peranan yang penting sebagai alur transportasi penumpang, barang, hasil tambang dan hasil hutan serta keperluan pengangkutan lainnya. Beberapa danau dan rawa pada Daerah Mahakam Tengah (DMT) merupakan kawasan penting untuk perkembangbiakan ikan dan setiap musimnya pada sungai utama terdapat jumlah populasi ikan dan telur ikan.

Sebelumnya, di Daerah Mahakam Tengah merupakan suatu daerah kegiatan memancing secara intensif dengan rata-rata tangkapan setiap tahunnya sebanyak 25.000 sampai 35.000 ton sejak 1970. Daerah tersebut telah menjadi penyuplai tunggal terbesar ikan kering sungai untuk Pulau Jawa sekitar 6.000 hinggga 9.000 ton diekspor setiap tahunnya. Sungai Mahakam juga memberi andil yang tidak kecil bagi penduduk dalam usaha budidaya ikan, selain secara alami berbagai jenis ikan banyak terdapat disepanjang sungai (dari anak-anak sungai, danau hingga muara). Budidaya ikan dengan keramba dilakukan disungai dan danau, sedangkan pembukaan tambak-tambak ikan oleh penduduk dilakukan di daerah muara. Saat ini pengeksploitasian daerah muara untuk tambak ikan tengah dilakukan secara besar-besaran yang mengakibatkan terancamnya keberadaan hutan mangrove.

12 January 2011

Sisi Strategis Air di Pemerintahan

Indonesia menduduki posisi geografis yang unik dalam tatanan tata aliran air dan udara dunia. Ditambah dengan posisinya di katulistiwa menjadikan daerah ini dijuluki sebagai kawasan mega-biodiversitas dunia yang memiliki keunikan fauna dan flora dengan endemisme yang tinggi. Keberlangsungan semua kehidupan ini terkait langsung dengan kelestarian air untuk mendukung kehidupan unik tersebut.
Indonesia menduduki posisi geografis yang unik dalam tatanan tata aliran air dan udara dunia. Ditambah dengan posisinya di katulistiwa menjadikan daerah ini dijuluki sebagai kawasan mega-biodiversitas dunia yang memiliki keunikan fauna dan flora dengan endemisme yang tinggi. Keberlangsungan semua kehidupan ini terkait langsung dengan kelestarian air untuk mendukung kehidupan unik tersebut.

Mega-biodiversitas bukan hanya merupakan kekayaan tetapi juga adalah warisan yang patut dipelihara dan dimanfaatkan secara bijak. Indikator kerusakan lingkungan dapat ditetapkan dari indeks keragaman fauna flora maupun endemisme yang terpelihara. Alokasi air yang disusun secara bijak antara keperluan manusia dan biodiversitas serta lingkungan perlu disepakati bersama. Pola fikir lama yang hanya menghitung penye-diaan air untuk pemanfaatan oleh manusia khususnya irigasi sudah perlu dikaji kembali dan dibarui.

Kebutuhan air untuk ekosistem (Hehanussa dan Haryani, 2001), yang memperlihatkan bahwa kearifan tradisional secara ‘tidak sengaja’ telah melakukan konservasi dengan menyediakan sejumlah air untuk kebutuhan ekosistem. Pendekatan lama berupa kearifan tradisional antara lain pada sistem subak di Bali, kearifan di Nias dan Papua, sistem teras sawah di Toraja, dan sejumlah kearifan tradisional lain perlu digali dan diselaras¬kan dengan pendekatan pengelolaan air modern. Pendekatan pe-ngelolaan air yang di¬pakai di sejumlah negara sub-tropis adalah membedakan antara green water dan blue water, lalu menyisihkan alokasi 30% dari ketersediaan green water untuk kebutuhan air lingkungan.

Dalam pertemuan World Water Forum ketiga tahun 2003 di Kyoto dihasilkan sejumlah doku¬men yang menggunakan istilah blue dan green water. Green water adalah bagian dari air yang sesaat setelah turun ke permukaan bumi akan menguap dan kembali naik ke angkasa menjadi bagian dinamis dari daur hidrologi, jumlahnya dapat mencapai hingga 65 persen dari seluruh ketersediaan air. Blue water adalah sisa air, bagian yang adalah bagian keseharian dari kehi¬dupan manusia. Pada titik ini terjadi perbedaan penafsiran antara berbagai school of thought yang ada di dunia. Ada yang menganggap bahwa Blue water ini seluruhnya dapat dimanfaat¬kan atau digunakan. Namun ada aliran baru yang menyatakan bahwa 30 persen dari green wa¬ter ini tidak boleh masuk kedalam kalkulasi neraca air sebab ia adalah bagian yang menjadi hak ekosistem. Sisa yang 70 persen dari Blue water itulah yang boleh dihitung untuk menjadi pemanfaatan air. Bagian yang 30 persen inilah yang dinamakan air untuk ekosistem.

Memang masih menjadi perdebatan hangat mengenai besaran angka 30 persen ini. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa cukup 25 atau bahkan 20 persen saja, ada pula yang mengatakan cukup 100 mm saja, dan ada sebagian ahli teknik yang mengatakan bahwa nilai itu adalah base flow di sungai. Kedua istilah itu sesungguhnya tidak sama dan harus dibedakan, karena air untuk lingkungan bukanlah base flow yang hanya terkait dengan pengelolaan alur sungai. Sedangkan air untuk lingkungan adalah air untuk pelayanan keberlanjutan fungsi se¬luruh biodiversitas di wilayah sungai tersebut sejak dari puncak tertinggi di bagian hulu hingga ke muara. Kiranya patut disadari kembali bahwa ada keterkaitan hubungan timbal balik antara keberlanjutan ketersediaan air secara berlanjut (sustainabilitas) dan fungsi ekosistem yang ber¬fungsi baik. Dalam Undang-Undang 7/2004 tentang Sumber Daya Air, keterkaitan antara air dengan eksositem ini secara jelas dinyatakan dan diamanatkan dalam sejumlah ‘perintah’ terkait sejumlah asas (Pasal 2), landasan fikir (Pasal 4), pengelolaan (Pasal 5-dst,), konservasi (Pasal 20-25), pendayagunaan (Pasal 26-50) pengenda¬lian daya rusak air (Pasal 51-58), dan kebutuhan air lingkungan (Pasal 21-22).

Interupsi dalam pola ketersediaan air antara lain ke waduk saat musim kemarau, banjir dan kekeringan ekstrim, turun drastisnya muka air tanah, anomali pola iklim yang ekstrim, amblesan tanah, punah atau semakin berkurangnya komunitas spesies fauna maupun flora tertentu, sangat mungkin dapat dijadikan indikator kesehatan fungsi ekosistem. Pendangkalan waduk yang cepat akibat sedi¬mentasi yang tinggi ke reservoar yang akhir-akhir banyak terjadi di Pulau Jawa adalah indikator bahwa aloka¬si air (dari waduk) yang hanya untuk peruntukan manusia dan irigasi saja sambil meng-abaikan kebutuhan air lingkungan, adalah sebuah kegiatan yang ber¬sifat eksploitatif, telah gagal memelihara lingkungan yang telah menyediakan air untuk manusia. Praktek manajemen air yang lama, yang hanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan manu¬sia saat ini tetapi sama sekali mengabaikan sistem ekosistem alam perlu dikaji kembali. Fungsi ekosistem yang menyimpan, menyediakan, mengendalikan, meng¬olah kembali (self purification), dan meng¬atur proses daur hidrologi kiranya perlu kembali diberi tem-pat yang sewajarnya dalam menghi¬tung neraca air agar alam dapat melayani kebutuhan air secara berkelanjutan. Besaran masing-masing indikator (gejala lingkungan) tersebut di atas agar segera dibahas dan ditetapkan, se¬hingga dapat ditetapkan menjadi kriteria indikator kesehatan fungsi ekosistem.

Followers