Indonesia menduduki posisi geografis yang unik dalam tatanan tata aliran air dan udara dunia. Ditambah dengan posisinya di katulistiwa menjadikan daerah ini dijuluki sebagai kawasan mega-biodiversitas dunia yang memiliki keunikan fauna dan flora dengan endemisme yang tinggi. Keberlangsungan semua kehidupan ini terkait langsung dengan kelestarian air untuk mendukung kehidupan unik tersebut.
Indonesia menduduki posisi geografis yang unik dalam tatanan tata aliran air dan udara dunia. Ditambah dengan posisinya di katulistiwa menjadikan daerah ini dijuluki sebagai kawasan mega-biodiversitas dunia yang memiliki keunikan fauna dan flora dengan endemisme yang tinggi. Keberlangsungan semua kehidupan ini terkait langsung dengan kelestarian air untuk mendukung kehidupan unik tersebut.
Mega-biodiversitas bukan hanya merupakan kekayaan tetapi juga adalah warisan yang patut dipelihara dan dimanfaatkan secara bijak. Indikator kerusakan lingkungan dapat ditetapkan dari indeks keragaman fauna flora maupun endemisme yang terpelihara. Alokasi air yang disusun secara bijak antara keperluan manusia dan biodiversitas serta lingkungan perlu disepakati bersama. Pola fikir lama yang hanya menghitung penye-diaan air untuk pemanfaatan oleh manusia khususnya irigasi sudah perlu dikaji kembali dan dibarui.
Kebutuhan air untuk ekosistem (Hehanussa dan Haryani, 2001), yang memperlihatkan bahwa kearifan tradisional secara ‘tidak sengaja’ telah melakukan konservasi dengan menyediakan sejumlah air untuk kebutuhan ekosistem. Pendekatan lama berupa kearifan tradisional antara lain pada sistem subak di Bali, kearifan di Nias dan Papua, sistem teras sawah di Toraja, dan sejumlah kearifan tradisional lain perlu digali dan diselaras¬kan dengan pendekatan pengelolaan air modern. Pendekatan pe-ngelolaan air yang di¬pakai di sejumlah negara sub-tropis adalah membedakan antara green water dan blue water, lalu menyisihkan alokasi 30% dari ketersediaan green water untuk kebutuhan air lingkungan.
Dalam pertemuan World Water Forum ketiga tahun 2003 di Kyoto dihasilkan sejumlah doku¬men yang menggunakan istilah blue dan green water. Green water adalah bagian dari air yang sesaat setelah turun ke permukaan bumi akan menguap dan kembali naik ke angkasa menjadi bagian dinamis dari daur hidrologi, jumlahnya dapat mencapai hingga 65 persen dari seluruh ketersediaan air. Blue water adalah sisa air, bagian yang adalah bagian keseharian dari kehi¬dupan manusia. Pada titik ini terjadi perbedaan penafsiran antara berbagai school of thought yang ada di dunia. Ada yang menganggap bahwa Blue water ini seluruhnya dapat dimanfaat¬kan atau digunakan. Namun ada aliran baru yang menyatakan bahwa 30 persen dari green wa¬ter ini tidak boleh masuk kedalam kalkulasi neraca air sebab ia adalah bagian yang menjadi hak ekosistem. Sisa yang 70 persen dari Blue water itulah yang boleh dihitung untuk menjadi pemanfaatan air. Bagian yang 30 persen inilah yang dinamakan air untuk ekosistem.
Interupsi dalam pola ketersediaan air antara lain ke waduk saat musim kemarau, banjir dan kekeringan ekstrim, turun drastisnya muka air tanah, anomali pola iklim yang ekstrim, amblesan tanah, punah atau semakin berkurangnya komunitas spesies fauna maupun flora tertentu, sangat mungkin dapat dijadikan indikator kesehatan fungsi ekosistem. Pendangkalan waduk yang cepat akibat sedi¬mentasi yang tinggi ke reservoar yang akhir-akhir banyak terjadi di Pulau Jawa adalah indikator bahwa aloka¬si air (dari waduk) yang hanya untuk peruntukan manusia dan irigasi saja sambil meng-abaikan kebutuhan air lingkungan, adalah sebuah kegiatan yang ber¬sifat eksploitatif, telah gagal memelihara lingkungan yang telah menyediakan air untuk manusia. Praktek manajemen air yang lama, yang hanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan manu¬sia saat ini tetapi sama sekali mengabaikan sistem ekosistem alam perlu dikaji kembali. Fungsi ekosistem yang menyimpan, menyediakan, mengendalikan, meng¬olah kembali (self purification), dan meng¬atur proses daur hidrologi kiranya perlu kembali diberi tem-pat yang sewajarnya dalam menghi¬tung neraca air agar alam dapat melayani kebutuhan air secara berkelanjutan. Besaran masing-masing indikator (gejala lingkungan) tersebut di atas agar segera dibahas dan ditetapkan, se¬hingga dapat ditetapkan menjadi kriteria indikator kesehatan fungsi ekosistem.
Mega-biodiversitas bukan hanya merupakan kekayaan tetapi juga adalah warisan yang patut dipelihara dan dimanfaatkan secara bijak. Indikator kerusakan lingkungan dapat ditetapkan dari indeks keragaman fauna flora maupun endemisme yang terpelihara. Alokasi air yang disusun secara bijak antara keperluan manusia dan biodiversitas serta lingkungan perlu disepakati bersama. Pola fikir lama yang hanya menghitung penye-diaan air untuk pemanfaatan oleh manusia khususnya irigasi sudah perlu dikaji kembali dan dibarui.
Kebutuhan air untuk ekosistem (Hehanussa dan Haryani, 2001), yang memperlihatkan bahwa kearifan tradisional secara ‘tidak sengaja’ telah melakukan konservasi dengan menyediakan sejumlah air untuk kebutuhan ekosistem. Pendekatan lama berupa kearifan tradisional antara lain pada sistem subak di Bali, kearifan di Nias dan Papua, sistem teras sawah di Toraja, dan sejumlah kearifan tradisional lain perlu digali dan diselaras¬kan dengan pendekatan pengelolaan air modern. Pendekatan pe-ngelolaan air yang di¬pakai di sejumlah negara sub-tropis adalah membedakan antara green water dan blue water, lalu menyisihkan alokasi 30% dari ketersediaan green water untuk kebutuhan air lingkungan.
Dalam pertemuan World Water Forum ketiga tahun 2003 di Kyoto dihasilkan sejumlah doku¬men yang menggunakan istilah blue dan green water. Green water adalah bagian dari air yang sesaat setelah turun ke permukaan bumi akan menguap dan kembali naik ke angkasa menjadi bagian dinamis dari daur hidrologi, jumlahnya dapat mencapai hingga 65 persen dari seluruh ketersediaan air. Blue water adalah sisa air, bagian yang adalah bagian keseharian dari kehi¬dupan manusia. Pada titik ini terjadi perbedaan penafsiran antara berbagai school of thought yang ada di dunia. Ada yang menganggap bahwa Blue water ini seluruhnya dapat dimanfaat¬kan atau digunakan. Namun ada aliran baru yang menyatakan bahwa 30 persen dari green wa¬ter ini tidak boleh masuk kedalam kalkulasi neraca air sebab ia adalah bagian yang menjadi hak ekosistem. Sisa yang 70 persen dari Blue water itulah yang boleh dihitung untuk menjadi pemanfaatan air. Bagian yang 30 persen inilah yang dinamakan air untuk ekosistem.
Memang masih menjadi perdebatan hangat mengenai besaran angka 30 persen ini. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa cukup 25 atau bahkan 20 persen saja, ada pula yang mengatakan cukup 100 mm saja, dan ada sebagian ahli teknik yang mengatakan bahwa nilai itu adalah base flow di sungai. Kedua istilah itu sesungguhnya tidak sama dan harus dibedakan, karena air untuk lingkungan bukanlah base flow yang hanya terkait dengan pengelolaan alur sungai. Sedangkan air untuk lingkungan adalah air untuk pelayanan keberlanjutan fungsi se¬luruh biodiversitas di wilayah sungai tersebut sejak dari puncak tertinggi di bagian hulu hingga ke muara. Kiranya patut disadari kembali bahwa ada keterkaitan hubungan timbal balik antara keberlanjutan ketersediaan air secara berlanjut (sustainabilitas) dan fungsi ekosistem yang ber¬fungsi baik. Dalam Undang-Undang 7/2004 tentang Sumber Daya Air, keterkaitan antara air dengan eksositem ini secara jelas dinyatakan dan diamanatkan dalam sejumlah ‘perintah’ terkait sejumlah asas (Pasal 2), landasan fikir (Pasal 4), pengelolaan (Pasal 5-dst,), konservasi (Pasal 20-25), pendayagunaan (Pasal 26-50) pengenda¬lian daya rusak air (Pasal 51-58), dan kebutuhan air lingkungan (Pasal 21-22).
Interupsi dalam pola ketersediaan air antara lain ke waduk saat musim kemarau, banjir dan kekeringan ekstrim, turun drastisnya muka air tanah, anomali pola iklim yang ekstrim, amblesan tanah, punah atau semakin berkurangnya komunitas spesies fauna maupun flora tertentu, sangat mungkin dapat dijadikan indikator kesehatan fungsi ekosistem. Pendangkalan waduk yang cepat akibat sedi¬mentasi yang tinggi ke reservoar yang akhir-akhir banyak terjadi di Pulau Jawa adalah indikator bahwa aloka¬si air (dari waduk) yang hanya untuk peruntukan manusia dan irigasi saja sambil meng-abaikan kebutuhan air lingkungan, adalah sebuah kegiatan yang ber¬sifat eksploitatif, telah gagal memelihara lingkungan yang telah menyediakan air untuk manusia. Praktek manajemen air yang lama, yang hanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan manu¬sia saat ini tetapi sama sekali mengabaikan sistem ekosistem alam perlu dikaji kembali. Fungsi ekosistem yang menyimpan, menyediakan, mengendalikan, meng¬olah kembali (self purification), dan meng¬atur proses daur hidrologi kiranya perlu kembali diberi tem-pat yang sewajarnya dalam menghi¬tung neraca air agar alam dapat melayani kebutuhan air secara berkelanjutan. Besaran masing-masing indikator (gejala lingkungan) tersebut di atas agar segera dibahas dan ditetapkan, se¬hingga dapat ditetapkan menjadi kriteria indikator kesehatan fungsi ekosistem.
No comments:
Post a Comment