Sejatinya, masyarakat Indonesia telah memiliki kearifan lingkungan, jauh sejak jaman purbakala. Menurut beberapa ahli kepurbakalaan (arkeologi), kearifan lingkungan masyarakat Indonesia kuno dapat ditelusuri melalui penelitian terhadap berbagai peninggalan sejarah, seperti relief candi, tulisan di berbagai prasasti, naskah-naskah kuno, dan sebagainya. Bahkan, beberapa kerajaan sudah memiliki produk semacam “hokum positif” tentang lingkungan yang terintegrasi di dalam hokum agama, yang ditetapkan secara ketat oleh pemerintahaan kerajaan.
Sejatinya, masyarakat Indonesia telah memiliki kearifan lingkungan, jauh sejak jaman purbakala. Menurut beberapa ahli kepurbakalaan (arkeologi), kearifan lingkungan masyarakat Indonesia kuno dapat ditelusuri melalui penelitian terhadap berbagai peninggalan sejarah, seperti relief candi, tulisan di berbagai prasasti, naskah-naskah kuno, dan sebagainya. Bahkan, beberapa kerajaan sudah memiliki produk semacam “hokum positif” tentang lingkungan yang terintegrasi di dalam hokum agama, yang ditetapkan secara ketat oleh pemerintahaan kerajaan.
Banyak arkeolog menduga, lahirnya undang-undang tentang lingkungan hiudp pada jaman kuno selain untuk mencegah bencana alam juga untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam sebagai sumber penghidupan masyarakat dan penerimaan kerajaan. Lahirnya suatu kerajaan yang selalu diawali dengan perambahan hutan untuk pendirian istana, diduga memicu terjadinya bencana lingkungan yakni banjir dan kebakaran hutan. Tentu, para penguasa kerajaan kuno cukup direpotkan ole ancaman dua jenis bencana tersebut.
Majapahit & Peraturan Lingkungan
Salah satu kerajaan kuno yang memiliki peraturan perlindungan lingkungan hidup adalah Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan dekat Mojokerto Jawa Timur, Menurut sejarawan/arkeolog senior Indonesia, Slamet Mulyana, Majapahit yang berdiri pada abad XIV, memiliki peraturan mengenai lingkungan hidup. Peraturan tersebut tercantum di dalam Undang-undang “Agama: yang jadi acuan utama dalam pemeliharaan keamanan dan ketentraman Negara.
Yang dimaksud dengan Undang-Undang Agama di jaman Majapahit tidak sama pengertiannya dengan undang-undang tentang agama atau keyakinan yang seperti dikenal saat ini, melainkan undang-undang yang mengatur ketertiban masyarkat. Dalam bahasa sansekerta, agama adalah kata majemuk yang terdiri dari A=Tidak; Gama = Kacau. Jadi agama artinya tidak kacau alias tentram dan damai.
Dalam undang-undang Agama itu, antara lain tercantum sanksi bagi pelaku pembakaran dan penebangan pohon yang tidak sesuai dengan ketentuan, karena dua jenis pelanggaran tersebut dianggap sebagai kejahatan yang serius. Dalam bukunya berjudul “Perundangan-undangan Majapahit” Slamet Mulyana menyebutkan hukuman berat yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pembakaran dan penebangan pohon antara lain tercermin dalam bunyi undang-undang menyebutkan bahwa:
“Barang siapa membakar padi lading, tidak dipandang besar kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemilik ditambah denda dua laksa leh raja yang berkuasa.Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”. (Slamet Mulyana, Perundang-undangan madjapahit, hal 165).”
Kepedulian terhadap lingkungan oleh raja dan rakyat Majapahit juga tercermin dalam penataan kota yang relative baik terutama system drainasenya. Dari penggalian arkeologi, kuat dugaan kerjaan yang mencapai keemasan di era Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, memiliki banyak pakar lingkungan sehingga dapat merancang struktur kota dengan baik. Penggalian dibekas ibukota Majapahit dekat Trowulan terlihat satu struktur kota yang dipenuhi ole gorong-gorong terbuat dari konstruksi bata, parit-parit, serta beberapa waduk.
Pembangunan Ibukota Majapahit memang dimulai dengan babta alas di kawasan Tarik oleh Raden Wijaya dan para anak buahnya. Hal itu mengakibatkan penggundulan hutan secara besar-besaran, sehingga daerah itu menjadi gersang dan rentan ancaman banjir. Untuk mengatasi bencana banjir, raja memerintahkan pembangunan waduk, dam, serta kolam buatan dengan saluran dan parit-parit penghubungnya.
Beberapa waduk warisan Majapahit yang masih tersisa antara lain adalah waduk Domas di timur kota Majapahit, Waduk Kumitir di sebelah selatan, dan waduk Baureno di sebelah tenggara. Dari waduk Kumitir air dialirkan ke kolam Segaran melalui saluran yang dibuat dari bata. Kemudia, dari Segaran air dialirkan kea rah utara yang tempatnya lebih rendah.
Yang disebut Segaran adalah kolam yang bentuknya antic karena dindingnya dibuat dengan konstruksi bata. Kolam itu, berjarak sekitar 2 Km dari Desa Trowulan, pada jarak sekitar 2Km kea rah selatan dari pertigaan jalan Mojokerto-Jombang, ditepi sebelah timur tampak kolam besar yang dikenal dengan nama segaran.
Kolam pertama ditemukan oleh Maclaine Pont (1926), seorang arkeolog yang meneliti reruntuhan kota Majapahit. Konon, menurut cerita penduduk, kolam Segaran dipakai untuk membuang piring emas setalah raja Majapahit menjamu tamu yang diundang makan.
Penggalian dalam rangka penelitian arkeolog Desa Trowulan memang menemukan banyaknya bekas saluran yan menghubungkan dari sau kolam/waduk ke kolam/waduk lainnya di beberapat tempat semacam lubang mengontrol. Sehingga saat ini beberapa saluran air bersih masih mengalirkan air dan dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawahnya.
Banyak arkeolog menduga, lahirnya undang-undang tentang lingkungan hiudp pada jaman kuno selain untuk mencegah bencana alam juga untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam sebagai sumber penghidupan masyarakat dan penerimaan kerajaan. Lahirnya suatu kerajaan yang selalu diawali dengan perambahan hutan untuk pendirian istana, diduga memicu terjadinya bencana lingkungan yakni banjir dan kebakaran hutan. Tentu, para penguasa kerajaan kuno cukup direpotkan ole ancaman dua jenis bencana tersebut.
Majapahit & Peraturan Lingkungan
Salah satu kerajaan kuno yang memiliki peraturan perlindungan lingkungan hidup adalah Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan dekat Mojokerto Jawa Timur, Menurut sejarawan/arkeolog senior Indonesia, Slamet Mulyana, Majapahit yang berdiri pada abad XIV, memiliki peraturan mengenai lingkungan hidup. Peraturan tersebut tercantum di dalam Undang-undang “Agama: yang jadi acuan utama dalam pemeliharaan keamanan dan ketentraman Negara.
Yang dimaksud dengan Undang-Undang Agama di jaman Majapahit tidak sama pengertiannya dengan undang-undang tentang agama atau keyakinan yang seperti dikenal saat ini, melainkan undang-undang yang mengatur ketertiban masyarkat. Dalam bahasa sansekerta, agama adalah kata majemuk yang terdiri dari A=Tidak; Gama = Kacau. Jadi agama artinya tidak kacau alias tentram dan damai.
Dalam undang-undang Agama itu, antara lain tercantum sanksi bagi pelaku pembakaran dan penebangan pohon yang tidak sesuai dengan ketentuan, karena dua jenis pelanggaran tersebut dianggap sebagai kejahatan yang serius. Dalam bukunya berjudul “Perundangan-undangan Majapahit” Slamet Mulyana menyebutkan hukuman berat yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pembakaran dan penebangan pohon antara lain tercermin dalam bunyi undang-undang menyebutkan bahwa:
“Barang siapa membakar padi lading, tidak dipandang besar kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemilik ditambah denda dua laksa leh raja yang berkuasa.Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”. (Slamet Mulyana, Perundang-undangan madjapahit, hal 165).”
Kepedulian terhadap lingkungan oleh raja dan rakyat Majapahit juga tercermin dalam penataan kota yang relative baik terutama system drainasenya. Dari penggalian arkeologi, kuat dugaan kerjaan yang mencapai keemasan di era Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, memiliki banyak pakar lingkungan sehingga dapat merancang struktur kota dengan baik. Penggalian dibekas ibukota Majapahit dekat Trowulan terlihat satu struktur kota yang dipenuhi ole gorong-gorong terbuat dari konstruksi bata, parit-parit, serta beberapa waduk.
Pembangunan Ibukota Majapahit memang dimulai dengan babta alas di kawasan Tarik oleh Raden Wijaya dan para anak buahnya. Hal itu mengakibatkan penggundulan hutan secara besar-besaran, sehingga daerah itu menjadi gersang dan rentan ancaman banjir. Untuk mengatasi bencana banjir, raja memerintahkan pembangunan waduk, dam, serta kolam buatan dengan saluran dan parit-parit penghubungnya.
Beberapa waduk warisan Majapahit yang masih tersisa antara lain adalah waduk Domas di timur kota Majapahit, Waduk Kumitir di sebelah selatan, dan waduk Baureno di sebelah tenggara. Dari waduk Kumitir air dialirkan ke kolam Segaran melalui saluran yang dibuat dari bata. Kemudia, dari Segaran air dialirkan kea rah utara yang tempatnya lebih rendah.
Yang disebut Segaran adalah kolam yang bentuknya antic karena dindingnya dibuat dengan konstruksi bata. Kolam itu, berjarak sekitar 2 Km dari Desa Trowulan, pada jarak sekitar 2Km kea rah selatan dari pertigaan jalan Mojokerto-Jombang, ditepi sebelah timur tampak kolam besar yang dikenal dengan nama segaran.
Kolam pertama ditemukan oleh Maclaine Pont (1926), seorang arkeolog yang meneliti reruntuhan kota Majapahit. Konon, menurut cerita penduduk, kolam Segaran dipakai untuk membuang piring emas setalah raja Majapahit menjamu tamu yang diundang makan.
Penggalian dalam rangka penelitian arkeolog Desa Trowulan memang menemukan banyaknya bekas saluran yan menghubungkan dari sau kolam/waduk ke kolam/waduk lainnya di beberapat tempat semacam lubang mengontrol. Sehingga saat ini beberapa saluran air bersih masih mengalirkan air dan dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawahnya.
No comments:
Post a Comment